Kamis, 06 Desember 2012

Kajian Morfologi



1.      PENDAHULUAN
Banyak orang berpendapat bahwa penguasaan bahasa itu terjadi secara otomatis. Pendapat itu muncul karena ada perasaan yang menganggap bahwa manusia itu selalu berbahasa, baik membicarakan suatu hal, mengingat atau merasakan.
            Bahasa dimiliki oleh manusia adalah suatu hal yang wajar. Karena suatu hal yang wajar, ditemukan dan dipakai dalam keseharian, seolah tidak perlu mendapatkan perhatian. Padahal, tapa bahasa itu ,orang tidak dapat menjawab pertanyaan. Benarkah demikian ? Dalam kehidupan ini, bahasa merupakan alat komunikasi yang utama. Tidak ada sesuatu pun yang disampaikan, dikembangkan, dan diuraikan tanpa menggunakan bahasa.
            Bahasa yang menjadi dasar segala kegiatan manusia tentulah harus dipelajari, diselediki, dan dimengerti. Bila dasar berdiri kuat, segala kegiatan di atas menjadi jelas dan baik.Karena itulah, bahasa dijadikan sebuah objek (dipelajari dan diselediki).
Masyarakat yang sedang berkembang pada segala bidang kehidupannya seperti pilitik, ekonomi, social, dan budaya biasanya akan diikuti pula oleh perkembangan bahasanya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi junga mengakibatkan perkembangan bahasa. Hal tersebut menunjukan, makin maju suatu bangsa serta makin modern kehidupannya, makin berkembang pula bahasanya. Perkembangan bahasa harus sejalan dan seiring dengan kemajuan kebudayaan serta peradaban bangsa sebagai pemilik dan pemakai bahasa tersebut (Badudu, 1993)
            Agar kata yang digunakan baik, tepat, dan benar, perlu diperhatikan mengenai afiks dan kelas kata. Afiks dan kelas kata dalam bahasa Indonesia mempunyai peranan dalam pembentukan suatu kalimat. Dalam bahasa Indonesia, imbuhan (awalan, akhiran, dan komfiks) sangat penting karena sangat menentukan makna gramatikal suatu kata (Badudu, 1995). Jika imbuhan-imbuhan tersebut ditambahkan pada morfem lain, akan mengubah makna atau fungsi gramatikal suatu kata (Clark, 1981)



2. KONSEP TEORI
Afik atau imbuhan adalah satuan terikat (seperangkat huruf tertentu) yang apabila ditambahkan pada kata dasar akan mengubah makna dan membentuk kata baru. Afiks tidak dapat berdiri sendiri dan harus melekat pada satuan lain seperti kata dasar.Istilah afiks termasuk prefiks, infiks, sufiks, konfiks.
Kelompok kami menganalisis teori afiks berdasarkan maknanya. Di sini kami mengambil dua sumber yaitu buku Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif oleh Prof. Drs. M. Ramlan dan buku Kajian Morfologi (Bentuk Derivasional dan Infleksional) oleh Prof. Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd.
1.      Menurut Prof. Drs. M. Ramlan
a.       Afiks se- mempunyai makna sebagai berikut:
1.      Menyatakan makna ‘satu’, contoh pada kata serombongan yang berarti satu rombongan.
2.      Menyatakan makna ‘seluruh’, contoh pada kata se-Indonesia yang berarti seluruh Indonesia.
3.      Menyatakan makna ‘sama’, contoh pada kata serumah yang berarti sama dengan rumah; seperti rumah.
4.      Menyatakan makna ‘setelah’, contoh pada kata sesampainya yang berarti setelah ia sampai.

b.      Afiks ke- hanya mempunyai dua makna yaitu:
1.      Menyatakan kumpulan yang terdiri dari jumlah yang tersebut pada bentuk dasar, misalnya: Kedua (orang) : ‘kumpulan yang terdiri dari dua orang’
Keempat (pasang) : ‘kumpulan yang terdiri dari empat pasang’
2.      Menyatakan urutan, misalnya: (pegawai) kedua, (rumah) kedelapan.
c.       Afiks para- hanya memiliki satu makna yaitu makna ‘banyak’, misalnya: para pemuda yang berarti pemuda-pemuda, para dokter yang berarti dokter-dokter
d.      Afiks maha- pada umumnya Menyatakan makna ‘sangat’ atau ‘sifat yang lebih daripada sifat makhluk’. Contohnya Maha Pengasih, Maha Kuasa.
Selain itu, ada juga afiks maha- yang terdapat pada kata nominal ialah pada kata mahasiswa, mahadewi, dan maharaja. Ketiga contoh tersebut pada umumnya Menyatakan makna ‘besar’ atau ‘tertinggi’.
e.       Afiks –kan mempunyai beberapa makna, yang dapat digolongkan sebagai berikut:
1.      Menyatakan makna ‘benefaktif’, maksudnya perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar di lakukan untuk orang lain. Misalnya: membacakan, membelikan.
2.      Menyatakan makna ‘kausatif’, makna ini di golongkan menjadi empat yaitu:
2.a Menyebabkan (…) melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar.  Misalnya: mendudukkan : ‘menyebabkan (…) duduk’
2.b Menyebabkan (…) menjadi seperti yang tersebut pada bentuk dasar. Makna ini timbul sebagai akibat pertemuan afiks –kan dengan bentuk dasar yang berupa kata sifat. Misalnya : meluaskan : ‘menyebabkan (…) jadi luas’
Menguruskan : ‘menyebabkan (…) jadi kurus’
2.c Menyebabkan (…) jadi atau menganggap (…) sebagai apa yang tersebut bentuk dasar. Misalnya : mendewakan : ‘menganggap (…) sebagai dewa’
 Menganaktirikan : ‘menganggap (…) sebagai anak tiri’
2.d Membawa atau memasukkan (…) ke tempat yang tersebut pada bentuk dasar. Misalnya: memenjarakan : ‘memasukkan (…) ke penjara’
Menyeberangkan : ‘membawa (…) ke seberang’
f.       Afiks –i mempunyai beberapa makna, yang dapat di golongkan sebagai berikut
1.      Menyatakan bahwa ‘perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar itu di lakukan berulang-ulang’. Misalnya: mengambili : ‘berulang-ulang mengambil’
2.      Menyatakan makna ‘memberi apa yang tersebut pada bentuk dasar….’. misalnya: menggarami (sayur) : ‘memberi garam pada (sayur)’
3.      Objeknya Menyatakan ‘tempat’, misalnya: menulisi : ‘menulis di…’
4.      Menyatakan makna ‘kausatif’, misalnya: mengotori, memanasi, memerahi, membasahi.
g.      Afiks –an mempunyai makna sebagai berikut
1.      Menyatakan ‘sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar’, misalnya : timbangan : ‘alat untuk menimbang’, ‘hasil menimbang’.
2.      Menyatakan makna ‘tiap-tiap’ misalnya : (majalah) bulanan : ‘(majalah) yang terbit tiap-tiap bulan’
3.      Menyatakan makna ‘satuan’. Misalnya : kain itu di jual meteran
4.      Menyatakan makna ;beberapa’. Misalnya : ratusan binatang ternak mati terserang penyakit
5.      Menyatakan makna ‘sekitar’. Misalnya : tahun 60-an

2. Menurut Prof. Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd.
a. Afiks se- mepunyai makna:
1. Menyatakan ‘satu’. Misalnya : serombongan, sebuah, sebuah, sehari, semalam.
2. Menyatakan ‘seluruh’. Misalnya : sedunia, sekampung, sekota.
3. Menyatakan makna ‘sama’. Misalnya :
    sepohon kelapa : sama dengan pohon kelapa
    tinggi rumahnya sepohon kelapa : tinggi rumahnya sama dengan pohon kelapa
4.Menyatakan makna ‘setelah’. Misalnya :
Sesampainya : setelah ia sampai
Setibamu : setelah kamu tiba
Sepulangku : setelah aku pulang
b. Afiks ke- mempunyai dua makna yaitu ;
1. Menyatakan ‘kumpulan’. Misalnya: kedua (orang): kumpulan yang terdiri atas dua orang
2. Menyatakan ‘urutan’. Misalnya : ia menduduki ranking kedua
c. Prefiks maha- di golongkan pada prefiks serapan yang mempunyai makna ‘besar’. Misalnya : mahasiswa, maharaja, mahadewa
d. Sufiks –kan mempunyai makna sebagai berikut
1. Menyatakan ‘kausatif’ (membuat, menyebabkan sesuatu, menjadikan sesuatu). Misalnya : menerbangkan, melemparkan, menyeberangkan, membukukan.
2. Suatu variasi dari arti kausatif adalah menggunakan sebagai alat atau membuat dengan. Misalnya : menikamkan tombak, memukulkan tongkat.
3. Menyatakan benefaktif atau membuat untuk orang lain. Misalnya : membelikan : membeli untuk
4. Adapula sufiks –kan yang sebenarnya merupakan ringkasan dari tugas akan  Misalnya : mengharapkan : mengharap akan
e. Sufiks –i Menyatakan bahwa :
1. Objek dari kata kerja menunjukan suatu tempat atau arah berlangsungnya suatu peristiwa. Misalnya : kami menanyai mereka
2. Menyatakan intensitas, pekerjaan yang di langsungkan berulang-ulang. Misalnya:
tentara itu menembaki benteng musuh
3. terkadang timbul arti yang berlawanan dengan arti pertama pada sufiks –i. Misalnya : saya membului ayam  : mencabut bulu ayam
f. Sufiks –an mempunyai makna sebagai berikut:
1. Menyatakan tempat : kubangan, pangkalan, labuhan
2. Menyatakan kumpulan atau seluruh : lautan, daratan, kotoran
3. Menyatakan alat : kurungan, timbangan, pikulan
4. Menyatakan hal atau cara: didikan (hal mendidik atau cara mendidik), pimpinan
5. Akibat atau hasil perbuatan: buatan, hukuman, balasan, karangan
6. Sesuatu yang di… atau sesuatu yang telah…: larangan, pantangan, makanan,
tumbuhan
7. Menyerupai atau tiruan dari: anak-anakan, kuda-kudaan
8.Ttiap-tiap: harian, mingguan, bulanan
9. Sesuatu yang mempunyai sifat sebagai yang disebut pada kata dasar: manisan,
asinan
10. Menyatakan intensitas: besaran, kecilan (mengenai kuantitas), buah-buahan, sayur-sayuran, tumbuh-tumbuhan (mengenai kualitas).

3.                  KAJIAN DATA
        Dari kedua buku yang telah kita analisis, bias diperoleh kelebihan dan kekurangan dari masing-masing penulis. Bisa kita ketahui sebagai berikut :
Secara keseluruhan kajian afiks menurut Prof. Drs. M. Ramlan dan Prof. Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd. mempunyai sedikit kesamaan dari segi maknanya, misalnya pada afiks se- Prof. Drs. M. Ramlan dikatakan bahwa afiks se- mempunyai makna satu, seluruh, sama, dan setelah. Dipaparkan dalam bukunya yang berjudul Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif beserta contoh-contohnya (Halaman 135-138) begitu juga dengan Prof. Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd. dalam bukunya yang berjudul Kajian Morfologi (Bentuk Derivasional dan Infleksional) (Halaman 23). Tetapi dalam pembahasan afiks kan- Prof. Drs. M. Ramlan mengambil satu contoh kata ‘singkat’ dan digolongkan ke dalam kata sifat. Permasalahannya di sini, apakah kata singkat termasuk ke dalam kata sifat ?
Untuk menjawab pertanyaan di atas kami mencoba menelusuri kata ‘singkat’ dalam KBBI, di sana di jelaskan bahwa kata ‘singkat’ yang berarti pendek (tentang umur, waktu dsb). Jadi kata ‘singkat’ tidak hanya tergolong ke dalam kata sifat, tetapi biasa juga dipergunakan untuk menentukan usia seseorang dan menyatakan keterangan waktu (KBBI v1.1http://ebsoft.web.id)
            Selain itu Prof. Drs. M. Ramlan membagi makna afiks kan- ke dalam empat kelompok, salah satunya yang mempunyai arti menyebabkan. Dalam salah satu contohnya beliau mengambil kata ‘menguruskan’ yang mempunyai kata dasar ‘kurus’. Kami tidak setuju dengan contoh yang satu ini, karena setelah kami telusuri di KBBI kata menguruskan mempunyai kata dasar ‘urus’ yang berati merawat. Dari sana bisa dibedakan, bahwa pada awal dijelaskan kata tersebut bermakna kata sifat tetapi tidak berlaku untuk kata ‘menguruskan’ (Halaman 145-146)
Dalam segi pembagiannya Prof. Dr. Ida Bagus Putrayasa, M.Pd. membagi prefiks ke dalam dua golongan yaitu:
1.      Prefiks asli bahasa Indonesia
a.       Prefiks meN-
b.      Prefiks peN-
c.       Prefiks ber-
d.      Prefiks ter- dan di-
e.       Prefiks per-
f.       Prefiks ke-
g.      Prefiks se-

2.      Prefiks serapan
a.       Pra     : ‘yang mendahului’ atau ‘sebelumnya’
b.      Tuna   : ‘tidak sempurna’ atau ‘kurang’
c.       Pramu : ‘petugas’ analoginya dari ‘pramugarai’
d.      Maha  : ‘besar’
e.       Non    : ‘tidak’
f.       Swa    : ‘sendiri’
Di sini yang jadi permasalahan, mengapa afiks Para- tidak dicantumkan ke dalam prefiks serapan ? Sedangkan  maknanya sendiri mempunyai arti yang sama dari kedua penulis ini, Maha- berarti ‘besar’. Sedangkan menurut Prof. Drs. M. Ramlan afiks Para- selalu melekat pada bentuk dasar yang termasuk golongan kata nominal insani. Maknanya hanya satu, ialah menyatakan makna ‘banyak’. Pada afiks Maha- umumnya terdapat pada kata-kata yang menyatakan sifat Alloh (Halaman 140)

         

4.      KESIMPULAN

            Ragam pembentukan bahasa Indonesia sangat banyak, seperti  dari proses pembubuhan afiks yang dapat memberikan makna baru dari kata dasar. Begitupun dari hasil analisis kelompok kami bisa disimpulkan bahwa secara keseluruhan, kedua penulis mempunyai kesamaan dalam penyajian afiks dan maknanya.




DAFTAR PUSTAKA
Ramlan, M. (1987). Morfologi Suatu Tinjuan Deskriptif. Yogyakarta: CV. Karyono.
Putrayasa, Ida Bagus.(2008). Kajian Morfologi (Bentuk Derivasional dan Infleksional).     Bandung: Refika Aditama.

Minggu, 11 November 2012

Sastra Tulis (Folklor)


A.    Hakekat Folklor
Kata folklor adalah pengindonesiaan kata inggris folklore. kata folklore adalah kata majemuk, yang berasal dari kata dasar folk dan lore. folk adalah sekelompok orang yang memilki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan (Alam Dundes). ciri-ciri pengenalnya dapat berwujud: warna kulit yang sama, bentuk rambut, mata penceharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama.
folk artinya sama dengan kata kolektif (collectivity). folk adalah sinonim dengan kolektif, yang mempunyai ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, dan mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. (Dundes, 1965:2; 1977:17-35; 1978:7).
Yang dimaksud dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device).
Definisi folklor secara keseluruahan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secra turun-temurun. di antara kolektif, secara tradisional dalam vesrsi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat alat bantu pengingat (mnemonic device).
Ciri utama definisi folklor yang digunakan adalah arti folk lebih luas daripada yang digunakan sarjana Belanda sebelum Perang Dunia ke II.
Definisi folklor berasal dari definisi yang dibuat Jan Harold Brunvand, yang telah diperluas. Definisi Brunvand adalah folkore may be defined as those materials in cultuere that circulate traditionally among members of any group in different versions, whether in oral or by means of customary example (Brunvand, 1968:5).
Penelitain folklor Indonesia dapat diperluas lagi dengan meneliti folklor dari folk Indonesia yang sudah lama bermukim di luar negeri, contohnya seperti  orang indo Belanda di negeri Belanda atau California; dan orang Jawa di Suriname.
Ciri-ciri pengenal utama yang dapat membedakan folklor dari kebudayaan lainnya dapat dirumuskan sebagai berikut.
a)        Penyebarannya dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yang disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut, contohnya dengan menggunakan gerak isyarat, dan alat bantu pengingat.
b)        Folklor bersifat tradisional, yang disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
c)        Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini dikarenakan cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan) sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation), folklor dapat mengalami perubahan. Akan tetapi perbedaanya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya akan tetap bertahan.
d)       Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
e)        Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Misalnya dalam cerita rakyat, selalu menggunakan kata-kata klise, contohnya seperti “bulan empat belas hari”  yaitu menggambarkan kecantikan seorang gadis.
f)         Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Dalam cerita rakyat mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipr lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
g)        Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Terutama berlaku bagi ciri pengenal folklor lisan dan sebagian lisan.
h)        Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini diakibatkan karena pencipta yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilkinya.
i)          Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga kelihatnnya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat folklore merupakn proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

B.     Sejarah Perkembangan Folklor
   Folklor merupakan sebagian kebudayaan, yang penyebarannya melalui tutur kata atau lisan, dan ada yang menyebutnya sebagai tradisi lisan (oral tradition). Tradisi lisan mencakup cerita rakyat, teka-teki, pribahasa, dan nyanyian rakyat. Sedangkan folklor mencakup lebih, seperti tarian rakyat dan arsitektur rakyat.
Alasan tetap mempertahankan istilah folklor adalah:
1.    Karena istilah folklor seperti istilah-istilah antropologi dan sosiologi, dan sudah menjadi istilah internasional.
2.    Karena istilah folklor mencakup dua kata, bagi ahli folklor modern merupakan dwitunggal yang harus diperhatikan dalm penelitian.
Seorang ahli folklor modern meneliti folklor bukan terbatas pada tradisinya (lore-nya), melainkan manusianya (folk-nya). Hal ini akan jelas apabila kita telah mengetahui perkembangan sejarah folklor sebagai suatu disiplin yang berdiri sendiri.
William Jhon Thoms seoarang ahli kebudayaan antik (antiquarian) inggris adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah folklor ke dalam dunia ilmu pengetahuan. Istilah folklor diperkenalkan pada waktu beliau menerbitkan sebuah artiklenya dalam bentuk surat terbuka dalam majalah The Athenaeum No. 982, tanggal 22 Agustus 1846, dengan menggunakan nama Ambrose Merton (1846:862-863),. Dalam surat terbuka  Thomas mengakui bahwa dialah yang telah menciptakan istilah folklore untuk sopan santun inggris, takhyul, balada, dan sebagainya dari masa lampau, yang sebelumnya disebut dengan istilah antiquities, popular antiquities, atau popular literature (Dundes, 1965:4).
 Pada umumnya waktu diciptakannya istilah folklore dalam kosa kata bahasa inggris belum ada istilah kebudayaan, sehingga ada kemungkinan bahwa istilah baru folklore dapat digunakan orang untuk menyatakan kebudayaan. Hal itu tidak terjadi karena pada tahun 1865 E.B. Tylor memperkenalkan istilah culture ke dalam bahasa inggris. Pertama kali istilah itu di ajukan di dalam karangannya yang berjudul Researches into the Early History of Mankind and Development of Civiization (1865). Istilah culture ini kemudian di uraikan lebih lanjut dalam bukunya ynag berjudul Primitive Culture (1871), artinya yaitu: kesatuan yang menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat-istiadat, dan semua kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia dengan anggota masyarakat (Tylor, 1871, jilid 1:1).

Para ahli folklor humanistis yang terdiri dari para sarjana ahli bahasa kesusastraan, kemudian memperdalam ilmu folklor, dan pada umumnya tetap memegang definisi William Jhon Thoms; sehingga memasukan ke dalam folklor bukan kesusastraan lisan, seperti cerita rakyat dan lain-lain sebagai obyek penelitian, melainkan pola kelakuan manusia seperti tari dan bahasa isyarat, dan juga hasil kelakuan yang berupa benda material, seperti arsitektur rakyat, mainan rakyat, dan pakaian rakyat. Pada umumnya penelitian mereka mementingkan aspek lor daripada folk dari folklor.
Sebaliknya dengan para ahli antropologis yang terdiri dari sarjana antroplogis yang mengkhususkan diri dalam folklor, membatasi objek penelitian mereka pada unsur-unsur kebudayaan yang bersifat lisan (verbal arts). Contohnya seperti cerita prosa rakyat, syair rakyat, peribahasa, dan kesusastraan lisan.
Ahli folklor modern mempunyai latar belakang pendidikan interdisipliner yang mempunyai pandangan terletak di tengah-tengah kedua kutub yang berbeda. Dalam objek penelitian sama halnya dengan ahli folklor  humanistis, yang mempelajari tentang semua unsur kebudayaan manusia, akan tetapi harus diwariskan melalui lisan atau dengan cara peniruan. Karena para ahli berpendidikan ilmu yang interdisipliner, maka menitikberatkan penelitian kedua aspek folklor, baik folk mmaupun lornya.
Maka akibat dari belum adanya pendapat yang sama tentang istilah lain untuk folklor kita tidak usah merasa heran, contohnya di Prancis istilah folklore dipergunakan  di samping istilah tradision populair, di inggris dipergunakan folklore, sedangkan dinegara-negara Eropa dipergunakan istiah volkskunde dan folk-liv (folk-live). Meskipun istilah folklor sudah dikenal orang Eropa Barat, akan tetapi artinya masih terbatas pada folklor lisan saja (Dundes, 1968: 3). 

Indianisasi dan Sansekertanisasi


INDIANISASI DAN SANKSEKERTANISASI DI INDONESIA
oleh:
Mia K.Hidayat, Yeni Fitriani, Yessy Hermawati
A.Pendahuluan
Indonesia berada di kawasan nusantara yang terletak di antara persilangan
strategis antara benua Asia dan Benua Australia, serta di antara samudera Hindia
dan samudera Pasifik. Dengan letak Indonesia yang srategis ini, sudah tentu
kebudayaannya banyak mendapat pengaruh dari budaya-budaya besar dari
kawasan lain yang berada di sekitar kepulauan Nusantara, seperti kebudayaan
India, Timur Tengah, Eropa dan Cina.
Kebudayaan yang pernah dominan dalam mempengaruhi kebudayaan
Nusantara adalah kebudayaan India.Pengaruh India diperkirakan mulai masuk di
Kepulauan Nusantara, setidaknya sejak awal abad Masehi. Hal tersebut terjadi
karena disebabkan oleh proses global yang didukung dengan perkembangan
teknologi transportasi pelayaran antar kawasan, serta digunakannya bahasa
serumpun yang menjadi lingua-franca (bahasa perantara) bagi komunikasi antar
komunitas di Kepulauan Nusantara.
Pengaruh masuknya budaya India (Indianisasi) banyak meninggalkan
jejak-jejak sejarah dan peninggalan kebudayaan yang berpengaruh pada
pekembangan budaya dan bahasa di Indonesia. Berikut akan dijelaskan tentang
Indianisasi dan Sansekertanisasi di Indonesia.
B. Indianisasi dan Sansekertanisasi di Indonesia
Indianisasi di Indonesia dimulai pada periode awal masehi dan
berlangsung lebih dari seribu tahun. Proses ini melibatkan sejumlah kecil orang
India dan terwujud dalam alih pengetahuan antara Asia Selatan (India Selatan)
dan Asia Tenggara, khususnya dalam bidang agama. Politik dan kesusastraaan.
Di negeri-negeri Nusantara, indianisasi dan pengaruhnya pada penduduk
asli dapat diamati sejak abad ke-4. Akan tetapi baru dengan prasasti-prasasti
pertama berbahasa Melayu Kuno (682-686), ketika kerajaan bahari itu sudah
berdiri sejak satu dasawarsa atau lebih, kita dapat mengukur dimensi
kebahasaannya, setidak-tidaknya di wilayah-wilayah penutur bahasa Melayu.
Kosakata dan indeks yang disusun oleh Coedes (1930) dan De Casparis (1956)
berdasarkan prasasti yang ditemukan di selatan Sumatera dan Jawa, cukup jelas
menunjukkan pengaruh bahasa sansekerta terhadap ragam tulisan yang dipakai di
Istana. Coedes mengamati ada 283 bentuk, 129 di antaranya berasal dari bahasa
sansekerta. De Casparis menyatakan ada 281 bentuk dan 140 kata bahasa
sansekerta. Di dalam daftar kedua peneliti tersebut, istilah-istilah sansekerta atau
keagamaan dalam arti luas, dan juga nilai serta sikap moral, perasaan dan lain-lain. Sementara itu, bentuk-bentuk asli Melayu terutama mencakup kata-kata
benda yang berasala dari kata umum (air ipuh “ipuh”, uram “orang”, ulu “kepala”,
dsb) dan meliputi sebagian besar bentuk yang termasuk dalam kategori gramatikal
lain: kata kerja (tmu “memperoleh”, datam”datang”, marvuat “berbuat”,dsb) atau
yang lain (inan “ini”, ka “ke”, kalivat “sudah”, kita “anda”, beragam kata enklitik)
Dalam bidang keagaamaan, sumbangan utama indianisasi
diperkenalkannya agama-agama besar India, yakni Hindu dan Budha yang dapat
kita telusuri sejak abad ke-4 di semenanjung Melayu dan abad ke-5 di Jawa dan
Borneo, dua abad kemudian Borneo menjadi pusat penyebaran agama Budha di
Asia Tenggara. Kemudian di Jawa agama Hindu dan Budha berkembang sangat
pesat juga terutama di Jawa bagian btengah dan barat. Sejak abad ke-4 Masehi
sampai sekarang masih dipertahankan oleh etnis Tengger di dataran tinggi Bromo.
Puncak kejayaan kedua agama tersebut ditandai dengan dibangunnya monumen-monumen keagamaan yang megah di poros kedua Prambanan (Jawa Tengah) pada
masa Mataram Kuno abad ke 8-10 Masehi. Di lembah sungai Berantas yang subur
(Jawa Timur) pada masa Mataram Kuno hingga Majapahit pada abad ke 11-15
Masehi, pembangunan monumen-monumen tersebut dapat terlaksana berkat
dukungan politi-politik yang bercorak agama Hindu dan Budha.
Menurut Widyadharma (1999) konsep makrokosmos diyakini masyrakat
Jawa kuno pada periode Hindu dan Budha pada abad ke 7-15 Masehi dan
diwujudkan pada berbagai wujud bangunan suci, penataan istamna, susunan
administrasi pemerintahan dan lain-lain. Konsep dasar bangunan candi yang ada
di pulau Jawa pun secara umum menyesuaikan dengan konsep makrokosmos
tersebut.
Saat kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singasari, dan Majapahit
diperkenalkannlah tilisan pallawa akibat pengaruh India dalam bidang
kesusastraan, yang kemuadian berkembang menjadi aksara Jawa Kuno.Selain itu
banyak pengetahuan yang berasal dari India yang diterjemahkan dalam bahasa
lokal, dimulai dari kitab Rhamayana dan kitan Budhis lainnya. Banyak kosa kata
sanksekerta yang diserap oleh Bahasa Jawa Kuno akibat kesulitan mencari
persamaan katanya tanpa merubah makna aslinya
Teori Brahman menyatakan dan meyakini bahwa agama Hindu dan Budha
dibawa langsung oleh pendeta dari India. Proses masuk dan berkembangnya
agama Hindu dan Budha ke Indonesia menimbulkan alkuturasi dengan
kebudayaan Indonesia.
Alkuturasi budaya tersebut dapat diketahui bahwa pendeta Budha
Tionghoa, I Jing, dalam perjalanan ke Nelanda (India), melewati Sriwijaya-Palembang pada tahun 671, di sana ia menyempurnakan kemampuan bahasa
Sansekertanya seelama enam bulan. Di kalangan cendikiawan kosmopolit yang
tinggal di Palembang lebih banyak menggunakan bahasa Sansekerta, besar
kemungkinan pemerkayaan kosakata bahasa Melayu Kuno yang dipakai dalam
percakapan dengan penduduk asli bersumberdari bahasa itu. Kosakata itu dipakai
untuk mengungkapkan konsep-konsep agama Budha yang sebelumnya tidak ada
dalam bahasa Melayu. Sebagai contoh, di prasasti-prasasti itu tercantum:
vodhicitta (“pemikiran bodhi”), vajracarira (“raga intan”), pranidhana
(“doa”),dsb.
Bahasa Melayu Kuno juga memunggut istilah-istilah yang bertalian
dengan agama Hindu dari bahasa Sansekerta (vrahmasvara “suara
Brahma”, dll.) demikian juga perhitungan penanggalan.
Nama-nama bulan dan hari: caitra (antara Maret-April), pancami (“hari
kelima”), siklus bulan: pratipada (hari pertama bulan baru), serta beberapa
adverba dan beberapa kata keterangan waktu.
Dalam bidang politik dan pemerintahan, indianisasi membawa kerangka
konsep yang untuk melakukan pengembangan sistem kepemimpinan tradisional
menuju pemerintahan yang kuat dan terorganisasi, yakni kerajaan-kerajaan
agraris yang terdapat di berbagai daerah di Asia Tenggara. Jenis negara-negara itu
sangat berbeda dari Sriwijaya yang merupakan kerajaan bahari dan prasasti-prasasti-prasasti yang ada hanya memberikan sepotong-sepotong, tentu saja itu
tidak memuaskanuntuk para sejarahwan bahasa yang tidak dapat melengkapi
pengetahuannya dengan sumber lain, namun demikian prasasti Telaga Batu
(Palembang,683) memeuat sejumlah istilah bidang pemerintahan yang
menunjukan pengaruh bahasa Sansekerta.
Gelar dan jabatan : rajaputra (“putraraja”), bhupati (“kepala”), senapati
(“jendral”), vaniaga (“pedagang”), dsb.
Penataan ruang dan wilayah pemerintahan : bhumi (“tanah, negara”), desa
(“negeri”, ”desa”), mandala (“kedaulatan yang membayar upeti”),
samaryyada (“pedalaman”), sthana (“tempat tinggal”), dsb.
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat
dilihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang
berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India. Dengan
adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan
yang berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah
oleh seorang raja secara turun temurun. Pemerintahan raja di Indonesia ada
yang bersifat mutlak dan turun temurun seperti India dan ada juga yang
menerapkan prinsip musyawarah.
Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak mempunyai
putra mahkota yaitu seperti yang terjadi pada masa berlangsungnya
kerajaan Majapahit, dalam hal pengangkatan Wikramawardana. Wujud
akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat
dalam sistem kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat
berdasarkan sistem kasta.
C. Simpulan
India adalah salah satu negara yang banyak memmpengaruhi
perkembangan budaya di Indonesia. Indianisasi di Indonesia fenomenanya telah
terlihat sejak abad ke-4 Masehi.
Indianisasi menimbulkan alkuturasi budaya yang mempengaruhi berbagai
hal diantaranya agama,politik,pemerintahan dan bahasa. Dalam prosesnya bahasa
Sansekerta banyak mempengaruhi sejarah bahasa di Indonesia baik dalam
munculnya bahasa daerah dan bahasa Melayu Kuno.


D. Daftar Pustaka
Collins, JT.2011. Bahasa Melayu Bahasa Dunia.Jakarta:Buku Obor
Samoel,Jarome.2008. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan
kosakata dan Politik Peristilahan. Jakarta: Gramedia
Whdyadharma,Pandita S.1999.Intisari Agama Budha.Jakarta:Cetiya Vatthu
Daya
www.agamadarma.blogspot.com