Minggu, 11 November 2012

Sastra Tulis (Folklor)


A.    Hakekat Folklor
Kata folklor adalah pengindonesiaan kata inggris folklore. kata folklore adalah kata majemuk, yang berasal dari kata dasar folk dan lore. folk adalah sekelompok orang yang memilki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan (Alam Dundes). ciri-ciri pengenalnya dapat berwujud: warna kulit yang sama, bentuk rambut, mata penceharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang sama.
folk artinya sama dengan kata kolektif (collectivity). folk adalah sinonim dengan kolektif, yang mempunyai ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, dan mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat. (Dundes, 1965:2; 1977:17-35; 1978:7).
Yang dimaksud dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device).
Definisi folklor secara keseluruahan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secra turun-temurun. di antara kolektif, secara tradisional dalam vesrsi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat alat bantu pengingat (mnemonic device).
Ciri utama definisi folklor yang digunakan adalah arti folk lebih luas daripada yang digunakan sarjana Belanda sebelum Perang Dunia ke II.
Definisi folklor berasal dari definisi yang dibuat Jan Harold Brunvand, yang telah diperluas. Definisi Brunvand adalah folkore may be defined as those materials in cultuere that circulate traditionally among members of any group in different versions, whether in oral or by means of customary example (Brunvand, 1968:5).
Penelitain folklor Indonesia dapat diperluas lagi dengan meneliti folklor dari folk Indonesia yang sudah lama bermukim di luar negeri, contohnya seperti  orang indo Belanda di negeri Belanda atau California; dan orang Jawa di Suriname.
Ciri-ciri pengenal utama yang dapat membedakan folklor dari kebudayaan lainnya dapat dirumuskan sebagai berikut.
a)        Penyebarannya dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yang disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut, contohnya dengan menggunakan gerak isyarat, dan alat bantu pengingat.
b)        Folklor bersifat tradisional, yang disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).
c)        Folklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini dikarenakan cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan) sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation), folklor dapat mengalami perubahan. Akan tetapi perbedaanya hanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya akan tetap bertahan.
d)       Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
e)        Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Misalnya dalam cerita rakyat, selalu menggunakan kata-kata klise, contohnya seperti “bulan empat belas hari”  yaitu menggambarkan kecantikan seorang gadis.
f)         Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Dalam cerita rakyat mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipr lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
g)        Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Terutama berlaku bagi ciri pengenal folklor lisan dan sebagian lisan.
h)        Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini diakibatkan karena pencipta yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilkinya.
i)          Folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga kelihatnnya kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat folklore merupakn proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.

B.     Sejarah Perkembangan Folklor
   Folklor merupakan sebagian kebudayaan, yang penyebarannya melalui tutur kata atau lisan, dan ada yang menyebutnya sebagai tradisi lisan (oral tradition). Tradisi lisan mencakup cerita rakyat, teka-teki, pribahasa, dan nyanyian rakyat. Sedangkan folklor mencakup lebih, seperti tarian rakyat dan arsitektur rakyat.
Alasan tetap mempertahankan istilah folklor adalah:
1.    Karena istilah folklor seperti istilah-istilah antropologi dan sosiologi, dan sudah menjadi istilah internasional.
2.    Karena istilah folklor mencakup dua kata, bagi ahli folklor modern merupakan dwitunggal yang harus diperhatikan dalm penelitian.
Seorang ahli folklor modern meneliti folklor bukan terbatas pada tradisinya (lore-nya), melainkan manusianya (folk-nya). Hal ini akan jelas apabila kita telah mengetahui perkembangan sejarah folklor sebagai suatu disiplin yang berdiri sendiri.
William Jhon Thoms seoarang ahli kebudayaan antik (antiquarian) inggris adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah folklor ke dalam dunia ilmu pengetahuan. Istilah folklor diperkenalkan pada waktu beliau menerbitkan sebuah artiklenya dalam bentuk surat terbuka dalam majalah The Athenaeum No. 982, tanggal 22 Agustus 1846, dengan menggunakan nama Ambrose Merton (1846:862-863),. Dalam surat terbuka  Thomas mengakui bahwa dialah yang telah menciptakan istilah folklore untuk sopan santun inggris, takhyul, balada, dan sebagainya dari masa lampau, yang sebelumnya disebut dengan istilah antiquities, popular antiquities, atau popular literature (Dundes, 1965:4).
 Pada umumnya waktu diciptakannya istilah folklore dalam kosa kata bahasa inggris belum ada istilah kebudayaan, sehingga ada kemungkinan bahwa istilah baru folklore dapat digunakan orang untuk menyatakan kebudayaan. Hal itu tidak terjadi karena pada tahun 1865 E.B. Tylor memperkenalkan istilah culture ke dalam bahasa inggris. Pertama kali istilah itu di ajukan di dalam karangannya yang berjudul Researches into the Early History of Mankind and Development of Civiization (1865). Istilah culture ini kemudian di uraikan lebih lanjut dalam bukunya ynag berjudul Primitive Culture (1871), artinya yaitu: kesatuan yang menyeluruh yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat-istiadat, dan semua kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia dengan anggota masyarakat (Tylor, 1871, jilid 1:1).

Para ahli folklor humanistis yang terdiri dari para sarjana ahli bahasa kesusastraan, kemudian memperdalam ilmu folklor, dan pada umumnya tetap memegang definisi William Jhon Thoms; sehingga memasukan ke dalam folklor bukan kesusastraan lisan, seperti cerita rakyat dan lain-lain sebagai obyek penelitian, melainkan pola kelakuan manusia seperti tari dan bahasa isyarat, dan juga hasil kelakuan yang berupa benda material, seperti arsitektur rakyat, mainan rakyat, dan pakaian rakyat. Pada umumnya penelitian mereka mementingkan aspek lor daripada folk dari folklor.
Sebaliknya dengan para ahli antropologis yang terdiri dari sarjana antroplogis yang mengkhususkan diri dalam folklor, membatasi objek penelitian mereka pada unsur-unsur kebudayaan yang bersifat lisan (verbal arts). Contohnya seperti cerita prosa rakyat, syair rakyat, peribahasa, dan kesusastraan lisan.
Ahli folklor modern mempunyai latar belakang pendidikan interdisipliner yang mempunyai pandangan terletak di tengah-tengah kedua kutub yang berbeda. Dalam objek penelitian sama halnya dengan ahli folklor  humanistis, yang mempelajari tentang semua unsur kebudayaan manusia, akan tetapi harus diwariskan melalui lisan atau dengan cara peniruan. Karena para ahli berpendidikan ilmu yang interdisipliner, maka menitikberatkan penelitian kedua aspek folklor, baik folk mmaupun lornya.
Maka akibat dari belum adanya pendapat yang sama tentang istilah lain untuk folklor kita tidak usah merasa heran, contohnya di Prancis istilah folklore dipergunakan  di samping istilah tradision populair, di inggris dipergunakan folklore, sedangkan dinegara-negara Eropa dipergunakan istiah volkskunde dan folk-liv (folk-live). Meskipun istilah folklor sudah dikenal orang Eropa Barat, akan tetapi artinya masih terbatas pada folklor lisan saja (Dundes, 1968: 3). 

Indianisasi dan Sansekertanisasi


INDIANISASI DAN SANKSEKERTANISASI DI INDONESIA
oleh:
Mia K.Hidayat, Yeni Fitriani, Yessy Hermawati
A.Pendahuluan
Indonesia berada di kawasan nusantara yang terletak di antara persilangan
strategis antara benua Asia dan Benua Australia, serta di antara samudera Hindia
dan samudera Pasifik. Dengan letak Indonesia yang srategis ini, sudah tentu
kebudayaannya banyak mendapat pengaruh dari budaya-budaya besar dari
kawasan lain yang berada di sekitar kepulauan Nusantara, seperti kebudayaan
India, Timur Tengah, Eropa dan Cina.
Kebudayaan yang pernah dominan dalam mempengaruhi kebudayaan
Nusantara adalah kebudayaan India.Pengaruh India diperkirakan mulai masuk di
Kepulauan Nusantara, setidaknya sejak awal abad Masehi. Hal tersebut terjadi
karena disebabkan oleh proses global yang didukung dengan perkembangan
teknologi transportasi pelayaran antar kawasan, serta digunakannya bahasa
serumpun yang menjadi lingua-franca (bahasa perantara) bagi komunikasi antar
komunitas di Kepulauan Nusantara.
Pengaruh masuknya budaya India (Indianisasi) banyak meninggalkan
jejak-jejak sejarah dan peninggalan kebudayaan yang berpengaruh pada
pekembangan budaya dan bahasa di Indonesia. Berikut akan dijelaskan tentang
Indianisasi dan Sansekertanisasi di Indonesia.
B. Indianisasi dan Sansekertanisasi di Indonesia
Indianisasi di Indonesia dimulai pada periode awal masehi dan
berlangsung lebih dari seribu tahun. Proses ini melibatkan sejumlah kecil orang
India dan terwujud dalam alih pengetahuan antara Asia Selatan (India Selatan)
dan Asia Tenggara, khususnya dalam bidang agama. Politik dan kesusastraaan.
Di negeri-negeri Nusantara, indianisasi dan pengaruhnya pada penduduk
asli dapat diamati sejak abad ke-4. Akan tetapi baru dengan prasasti-prasasti
pertama berbahasa Melayu Kuno (682-686), ketika kerajaan bahari itu sudah
berdiri sejak satu dasawarsa atau lebih, kita dapat mengukur dimensi
kebahasaannya, setidak-tidaknya di wilayah-wilayah penutur bahasa Melayu.
Kosakata dan indeks yang disusun oleh Coedes (1930) dan De Casparis (1956)
berdasarkan prasasti yang ditemukan di selatan Sumatera dan Jawa, cukup jelas
menunjukkan pengaruh bahasa sansekerta terhadap ragam tulisan yang dipakai di
Istana. Coedes mengamati ada 283 bentuk, 129 di antaranya berasal dari bahasa
sansekerta. De Casparis menyatakan ada 281 bentuk dan 140 kata bahasa
sansekerta. Di dalam daftar kedua peneliti tersebut, istilah-istilah sansekerta atau
keagamaan dalam arti luas, dan juga nilai serta sikap moral, perasaan dan lain-lain. Sementara itu, bentuk-bentuk asli Melayu terutama mencakup kata-kata
benda yang berasala dari kata umum (air ipuh “ipuh”, uram “orang”, ulu “kepala”,
dsb) dan meliputi sebagian besar bentuk yang termasuk dalam kategori gramatikal
lain: kata kerja (tmu “memperoleh”, datam”datang”, marvuat “berbuat”,dsb) atau
yang lain (inan “ini”, ka “ke”, kalivat “sudah”, kita “anda”, beragam kata enklitik)
Dalam bidang keagaamaan, sumbangan utama indianisasi
diperkenalkannya agama-agama besar India, yakni Hindu dan Budha yang dapat
kita telusuri sejak abad ke-4 di semenanjung Melayu dan abad ke-5 di Jawa dan
Borneo, dua abad kemudian Borneo menjadi pusat penyebaran agama Budha di
Asia Tenggara. Kemudian di Jawa agama Hindu dan Budha berkembang sangat
pesat juga terutama di Jawa bagian btengah dan barat. Sejak abad ke-4 Masehi
sampai sekarang masih dipertahankan oleh etnis Tengger di dataran tinggi Bromo.
Puncak kejayaan kedua agama tersebut ditandai dengan dibangunnya monumen-monumen keagamaan yang megah di poros kedua Prambanan (Jawa Tengah) pada
masa Mataram Kuno abad ke 8-10 Masehi. Di lembah sungai Berantas yang subur
(Jawa Timur) pada masa Mataram Kuno hingga Majapahit pada abad ke 11-15
Masehi, pembangunan monumen-monumen tersebut dapat terlaksana berkat
dukungan politi-politik yang bercorak agama Hindu dan Budha.
Menurut Widyadharma (1999) konsep makrokosmos diyakini masyrakat
Jawa kuno pada periode Hindu dan Budha pada abad ke 7-15 Masehi dan
diwujudkan pada berbagai wujud bangunan suci, penataan istamna, susunan
administrasi pemerintahan dan lain-lain. Konsep dasar bangunan candi yang ada
di pulau Jawa pun secara umum menyesuaikan dengan konsep makrokosmos
tersebut.
Saat kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singasari, dan Majapahit
diperkenalkannlah tilisan pallawa akibat pengaruh India dalam bidang
kesusastraan, yang kemuadian berkembang menjadi aksara Jawa Kuno.Selain itu
banyak pengetahuan yang berasal dari India yang diterjemahkan dalam bahasa
lokal, dimulai dari kitab Rhamayana dan kitan Budhis lainnya. Banyak kosa kata
sanksekerta yang diserap oleh Bahasa Jawa Kuno akibat kesulitan mencari
persamaan katanya tanpa merubah makna aslinya
Teori Brahman menyatakan dan meyakini bahwa agama Hindu dan Budha
dibawa langsung oleh pendeta dari India. Proses masuk dan berkembangnya
agama Hindu dan Budha ke Indonesia menimbulkan alkuturasi dengan
kebudayaan Indonesia.
Alkuturasi budaya tersebut dapat diketahui bahwa pendeta Budha
Tionghoa, I Jing, dalam perjalanan ke Nelanda (India), melewati Sriwijaya-Palembang pada tahun 671, di sana ia menyempurnakan kemampuan bahasa
Sansekertanya seelama enam bulan. Di kalangan cendikiawan kosmopolit yang
tinggal di Palembang lebih banyak menggunakan bahasa Sansekerta, besar
kemungkinan pemerkayaan kosakata bahasa Melayu Kuno yang dipakai dalam
percakapan dengan penduduk asli bersumberdari bahasa itu. Kosakata itu dipakai
untuk mengungkapkan konsep-konsep agama Budha yang sebelumnya tidak ada
dalam bahasa Melayu. Sebagai contoh, di prasasti-prasasti itu tercantum:
vodhicitta (“pemikiran bodhi”), vajracarira (“raga intan”), pranidhana
(“doa”),dsb.
Bahasa Melayu Kuno juga memunggut istilah-istilah yang bertalian
dengan agama Hindu dari bahasa Sansekerta (vrahmasvara “suara
Brahma”, dll.) demikian juga perhitungan penanggalan.
Nama-nama bulan dan hari: caitra (antara Maret-April), pancami (“hari
kelima”), siklus bulan: pratipada (hari pertama bulan baru), serta beberapa
adverba dan beberapa kata keterangan waktu.
Dalam bidang politik dan pemerintahan, indianisasi membawa kerangka
konsep yang untuk melakukan pengembangan sistem kepemimpinan tradisional
menuju pemerintahan yang kuat dan terorganisasi, yakni kerajaan-kerajaan
agraris yang terdapat di berbagai daerah di Asia Tenggara. Jenis negara-negara itu
sangat berbeda dari Sriwijaya yang merupakan kerajaan bahari dan prasasti-prasasti-prasasti yang ada hanya memberikan sepotong-sepotong, tentu saja itu
tidak memuaskanuntuk para sejarahwan bahasa yang tidak dapat melengkapi
pengetahuannya dengan sumber lain, namun demikian prasasti Telaga Batu
(Palembang,683) memeuat sejumlah istilah bidang pemerintahan yang
menunjukan pengaruh bahasa Sansekerta.
Gelar dan jabatan : rajaputra (“putraraja”), bhupati (“kepala”), senapati
(“jendral”), vaniaga (“pedagang”), dsb.
Penataan ruang dan wilayah pemerintahan : bhumi (“tanah, negara”), desa
(“negeri”, ”desa”), mandala (“kedaulatan yang membayar upeti”),
samaryyada (“pedalaman”), sthana (“tempat tinggal”), dsb.
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat
dilihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang
berkembang di Indonesia setelah masuknya pengaruh India. Dengan
adanya pengaruh kebudayaan India tersebut, maka sistem pemerintahan
yang berkembang di Indonesia adalah bentuk kerajaan yang diperintah
oleh seorang raja secara turun temurun. Pemerintahan raja di Indonesia ada
yang bersifat mutlak dan turun temurun seperti India dan ada juga yang
menerapkan prinsip musyawarah.
Prinsip musyawarah diterapkan terutama apabila raja tidak mempunyai
putra mahkota yaitu seperti yang terjadi pada masa berlangsungnya
kerajaan Majapahit, dalam hal pengangkatan Wikramawardana. Wujud
akulturasi di samping terlihat dalam sistem pemerintahan juga terlihat
dalam sistem kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat
berdasarkan sistem kasta.
C. Simpulan
India adalah salah satu negara yang banyak memmpengaruhi
perkembangan budaya di Indonesia. Indianisasi di Indonesia fenomenanya telah
terlihat sejak abad ke-4 Masehi.
Indianisasi menimbulkan alkuturasi budaya yang mempengaruhi berbagai
hal diantaranya agama,politik,pemerintahan dan bahasa. Dalam prosesnya bahasa
Sansekerta banyak mempengaruhi sejarah bahasa di Indonesia baik dalam
munculnya bahasa daerah dan bahasa Melayu Kuno.


D. Daftar Pustaka
Collins, JT.2011. Bahasa Melayu Bahasa Dunia.Jakarta:Buku Obor
Samoel,Jarome.2008. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia? Pemodernan
kosakata dan Politik Peristilahan. Jakarta: Gramedia
Whdyadharma,Pandita S.1999.Intisari Agama Budha.Jakarta:Cetiya Vatthu
Daya
www.agamadarma.blogspot.com

Cambodia (Sastra Nusantara)


Cambodianliterature  has been litlee studied. As with other South –East Asian literatures, it is difficult to apply to Combodian literature classification by genres used in Europe. Historians and archaelogists generally speak of five periods of development: pre-Angkorian, Angkorian, post-Angkorian, French protectorate, and contemporary. Linguists and philologist, however, distinguish three periods based more closely on the evalution of the language : the Older Khamer period of the inscriptions (7th to 14th centuries) ; the middle Khamer period of inscriptions (15th to 19th centuries) ; and the modern period.
The inscriptional literature of Combodia spans several of the ears carved out by the periodization literature of Combodia spans several of the erars carved out by the periodization systems abouve and has received a great deal of scholarly antention by such early scholars as Barth, Bergaigne, Fiont, Coedes, and, more recently, Jacques. Inscriptions from the 14th century onwards have been discussed by Coedes and Lewitz [Saveris Poul]. All inscriptins discovered to date in Cambodia and the former Khmer regions of Thailand, Laos and Vietnam are listed in a general inventory of over 1,000 items; rubbings of these inscriptions are preserved in Paris at the Ecole Francaise d’Extreme –Orient and at the Bibliotheque Nationale.
            The writing of the period that begins with the 16th  century and runs  the middle of the 19th century is usually regarded as’classical’ Khamer literature. This classification has been the subject of some debate, however, and scholars such as Au Chhieng (1953) and Saveros [Lewitz] Pou (1977) have adopted various differing categorizations. For convenience of discussion, literature is divided below into religiou, didactic, fictional, historical and technical genres.
            Khamer religious literature comprises all works of religious intructions, faithfully derived from the pali texts of the Theravada Buddishist canon, the Tripitaka. In Cambodia, the vinayapitaka and the suttapitaka sections of the Tripataka are better known and more commonly preserved in manuscript collections than the Abhidammapitaka. In 1969 the Buddhist Institute brought out in 110 volumes the complete pali text of th pritaka, together with a khmer treanslation. The jataka stories of the Budha’s previous lives, especially the last ten great jataka, are well-known in Cambodia and the fifty extracanonical jataka stories composed in pali (probably in the 15th and 16th centuries) are especially popular. Several combodian verse adaptations have been made from these texts. Samray is the name given to religious texts in pali accompanied by a translation and explanatory commentary. The famous Traibhumi cosmological text (about wich, see the Thailand section) has much influenced Cambodian literature.
            Didactic literature comprises verse works called cpap,which are moral treatise or codes of conduct, generally undated and relatively short in length. These works are divided into two categories: the old cpap (casor puran) which present in idealized society, and the modern cpap (thmi), which deal with the everyday concerns of the peasantry. It has been argued that this didactic literature was the product of an ardent proselityzation by Buddhist monks in the 14th to 18th centuries, who composed these verse texts as practical and moral guides for the people. Pupils in traditional Buddhist schools always learned cpap texts by heart.
            Fictional literature is diverse in Combodia and includes the lpaen, which have been defined as texes that entertain through their beautyof expression. Lpoek are middle length verse works treating a specific theme, and sometimes included in the lpaen genre. Rioenbren (folk stories) are short, traditional texes which were first transmitted orally and only much later written down to ensure their preservation. They are mostly in prose and are not dated. These traditional Cambodia stories have been classified variously, and include fables, etiological tales and stories whose chief purpose is edification of the audience. Rioen, or verse fiction, includes histories, stories, legends, and fables. These works come mostly from the 18th and 19th centuries and are generally long, averaging 8,000 verse. The oldest dated verse work is of Saka 1651 (1729 AD) and is called Rioenkhyan sankh (The conch shell story). Other dated works are: Lokanayapakar (n) (1794), Pannasarsirasa (1797), Krun sabhamir (1789), Bhogakulakumar (1804), Varanetr varanuj (1806),Kaki (1815), Brahcandagorab (1833), Tav rioen (1837), Brahsamudr (1847-60), Brah Jinavans (1856), Nan vimancand (1858), Maranamata (1877), Sugandh thon (1883), Causradap cek(1889), and Sabv siddh (1899). There are also many undated works which can be ascribed to the same period. These rioen were written by monks, scholars and palace mandarins; they drew their inspiration  from Buddhist texts, particulary the Jatakas.



Literatur Kamboja telah litlle dipelajari. Seperti denganliteratur lainnyaAsiaTenggara, sulit untuk diterapkan pada klasifikasi literatur Combodian oleh genre yang digunakan di Eropa. Sejarawan dan archaelogists umumnya berbicara dari lima periode pembangunan: pra-Angkorian, Angkorian, pasca-Angkorian, Perancis protektorat, dan kontemporer. Ahli bahasa dan ahli bahasa, bagaimanapun, membedakan tiga periode berdasarkan lebih dekat baik ini pada evaluasi dari bahasa: periode Khamer Lama dari prasasti (7 sampai 14 abad), periode Khamer tengah prasasti (15 sampai abad ke-19), dan periode modern.
 Literatur inscriptional dari Combodia mencakup beberapa telinga diukir oleh literatur periodisasi dari Combodia mencakup beberapa erars diukir oleh periodisasi sistem abouve dan telah menerima banyak antention ilmiah oleh para sarjana awal seperti Barth, Bergaigne, Fiont, Coedes, dan, baru-baru ini, Jacques. Prasasti dari abad ke-14 dan seterusnya telah dibahas oleh Coedes dan Lewitz [Saveris Poul]. Semua inscriptins ditemukan hingga kini di Kamboja dan Khmer mantan wilayah Thailand, Laos dan Vietnam yang tercantum dalam persediaan umum lebih dari 1.000 item, rubbings dari prasasti yang diawetkan di Paris di Ecole Francaise d'Extreme-Orient dan di Bibliotheque Nationale.
 Penulisan periode yang dimulai dengan abad the16th dan menjalankan pertengahan abad ke-19 biasanya dianggap as'classical 'sastra Khamer. Klasifikasi ini telah menjadi subyek perdebatan, bagaimanapun, dan sarjana seperti Au Chhieng (1953) dan Saveros [Lewitz] Pou (1977) telah mengadopsi kategorisasi yang berbeda berbagai. Untuk kenyamanan diskusi, sastra dibagi ke bawah religiou, genre didaktik, fiksi, sejarah dan teknis.
Khamer literatur agama terdiri dari semua karya intructions agama, setia berasal dari teks-teks pali dari Theravada Buddishist canon, Tripitaka. Di Kamboja, para Vinayapiá¹­aka dan bagian suttapitaka dari Tripataka lebih dikenal dan lebih sering diawetkan dalam koleksi naskah dari Abhidammapitaka. Pada tahun 1969 Institut Buddha dibawa keluar dalam 110 jilid naskah pali lengkap th pritaka, bersama-sama dengan treanslation khmer. Cerita-cerita Jataka dari kehidupan sebelumnya Budha, terutama yang terakhir sepuluh besar Jataka, yang dikenal di Kamboja dan lima puluh ekstrakanonik Jataka cerita disusun dalam pali (mungkin di abad 15 dan 16) yang sangat populer. Beberapa adaptasi ayat combodian telah dibuat dari ayat-ayat. Samray adalah nama yang diberikan kepada teks-teks agama di pali disertai dengan terjemahan dan komentar jelas. Teks Traibhumi terkenal kosmologis (sekitar Wich, lihat bagian Thailand) telah banyak dipengaruhi sastra Kamboja.
Sastra didaktik terdiri dari ayat bekerja cpap disebut, yaitu risalah moral atau kode etik, umumnya tidak bertanggal dan relatif pendek panjang. Karya-karya ini dibagi menjadi dua kategori: cpap tua (casor Puran) yang hadir dalam masyarakat ideal, dan cpap modern (thmi), yang berhubungan dengan masalah sehari-hari kaum tani. Telah berpendapat bahwa sastra didaktik adalah produk dari proselityzation bersemangat oleh para biksu Budha dalam 14 sampai abad ke-18, yang terdiri teks ayat ini sebagai panduan praktis dan moral bagi rakyat.
Murid di sekolah-sekolah Buddhis tradisional selalu belajar teks cpap dengan hati.
Sastra fiksi yang beragam di Combodia dan termasuk lpaen, yang telah didefinisikan sebagai Texes yang menghibur melalui ekspresi beautyof mereka. Lpoek adalah ayat panjang tengah bekerja memperlakukan tema tertentu, dan kadang-kadang dimasukkan dalam genre lpaen. Rioenbren (cerita rakyat) yang pendek, Texes tradisional yang pertama kali ditransmisikan secara lisan dan hanya jauh kemudian dituliskan untuk menjamin pelestarian mereka. Mereka sebagian besar dalam bentuk prosa dan tidak tanggal. Ini Kamboja tradisional cerita telah diklasifikasikan dengan berbagai cara, dan termasuk fabel, dongeng etiologi dan cerita yang kepala bertujuan mendidik penonton. Rioen, atau fiksi ayat, termasuk sejarah, cerita, legenda, dan dongeng. Karya-karya ini kebanyakan berasal dari abad ke-18 dan ke-19 dan umumnya lama, rata-rata 8.000 ayat. Pekerjaan Ayat tertua adalah tanggal Saka 1651 (1729 AD) dan disebut Rioenkhyan sankh (Kisah cangkang keong).
 Karya tanggal lainnya adalah: Lokanayapakar (n) (1794), Pannasarsirasa (1797), Krun sabhamir (1789), Bhogakulakumar (1804), Varanetr varanuj (1806), Kaki (1815), Brahcandagorab (1833), Tav rioen (1837) , Brahsamudr (1847-1860), Brahmana Jinavans (1856), Nan vimancand (1858), Maranamata (1877), Sugandh thon (1883), Causradap Cek (1889), dan Sabv siddh (1899). Ada juga karya bertanggal banyak yang dapat dianggap berasal dari periode yang sama. Rioen ini ditulis oleh biarawan, sarjana dan mandarin istana, mereka menarik inspirasi dari teks-teks Buddhis, khususnya Jataka.


Sabtu, 10 November 2012

Pengertian Wacana Menurut Para Ahli


   Berikut dijelaskan beberapa pengertian wacana menurut para ahli:
1.        Harimurti Kridalaksana
Harimurti Kidalaksana mengungkapkan wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar dalam hierarki gramatikal. Kata kunci: satuan bahasa terlengkap, gramatikal tertinggi, terbesar, hierarki.
2.        Crystal
Menurut Crystal, dalam bidang linguistik, wacana berarti rangkaian sinambung kalimat yang lebih luas daripada kalimat, sedangkan dari sudut psikolinguistik, wacana merupakan suatu proses dinamis pengungkapan dan pemahaman yang mengatur orang dalam interaksi kebahasaan.
3.        Kinneavy
Kinneavy mengungkapkan bahwa wacana adalah teks yang lengkap yang disampaikan baik cara lisan maupun tulisan yang tersusun oleh kalimat yang berkaitan.
4.        Wahab
Wahab mendefinisikan wacana sebagai organisasi bahasa yang lebih luas dari kalimat atau klausa.
5.        Edmonso
Edmonson mengungkapkan bahwa wacana adalah suatu periatiwa terstruktur yang diwujudkan di dalam perilaku linguistik atau yang lainnya.
6.        Longacre
Longacre mengemukakan bahwa wacana merupakan suatu rentetan kalimat yang membentuk suatu pengertian yang serasi, baik dalam pengertian maupun dalam manifestasi fonetisnya.
7.        Van Dijk
Van Dijk memandang bahwa wacana merupakan konstruksi teoretis yang abstrak, yang kemudian terlaksana melalui teks.
8.        Bamabang Hartono
Bambang Hartono mendefinisikan wacana sebagai berikut, wacana adalah satuan kebahasaan yang unsurnya terlengkap, tersusun oleh kata, frase, kalimat atau kalimat-kalimat, baik lisan maupun tulis yang membentuk suatu pengertian serasi dan terpadu, baik dalam pengertian maupun dalam manifestasi fonetisnya.
9.        Aminuddin
Wacana adalah kesuluruhan unsur-unsur yang membangun perwujudan paparan bahasa dalam peristiwa komunikasi.Wujud konkretnya dapat berupa tuturan lisan maupun teks tulis. Lebih lanjut, ia menyatakan ruang lingkup analisis wacana selain merujuk pada wujud objektif paparan bahasa berupa teks, juga berkaitan dengan dunia acuan, konteks, dan aspek pragmatik yang ada pada penutur maupun penanggap.
10.    Abdul Chaer
            Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar.Wacana dikatakan lengkap karena di dalamnya terdapat konsep, gagasan, pikiran atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau oleh pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun.Wacana dikatakan tertinggi atau terbesar karena wacana dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya (kohesi dan koherensi).Kekohesian adalah keserasian hhubungan antar unsur yang ada. Wacana yang kohesif bisa menciptakan wacana yang koheren (wacana yang baik dan benar)
11.    B.H.Hoed

            Wacana adalah suatu bangun teoritis yang bersifat abstrak.Wacana dikaji sebagai bangun teoritis yang memperlihatkan hubungan antara satu proposisi atau sejumlah proposisi dengan kerangka acuannya yang berupa konteks dan sittuasi.Dalam batasan tersebut, B.H.Hoed membedakan antara wacana yang bersifat abstrak dan termasuk dalam tataran langue dengan teks yang bersifat konkret (merupakan realisasi wacana) dan termasuk dalam tataran parole.
12.    Bambang Yudi Cahyono
            Wacana adalah ilmu yang mengkaji organisasi wacana di atas tingkat kalimat atau klausa.Wacana dibentuk dari satuan bahasa di atas klausa atau kalimat, baik lisan seperti percakapan maupun tulis seperti teks-teks tertulis.
13.    Norman Fairclough
            Wacana adalah pemakaian bahasa tampak sebagai sebuah bentuk praktek sosial, dan analisis wacana adalah analisis mengenai bagaimana teks bekerja/berfungsi dalam praktek sosia-budaya.
14.    Jusuf Syarif Badudu
            Wacana adalah rentetan kalimat yang saling berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.Wacana adalah kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi tinggi yang berkesinambungan, yang mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.
15.    I. Praptomo Baryadi
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, kutbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari segi bentuk bersifat kohesif, saling terkait dan dari segi makna bersifat koheren, terpadu.