A.
Hakekat Folklor
Kata
folklor adalah pengindonesiaan kata inggris folklore. kata folklore
adalah kata majemuk, yang berasal dari kata dasar folk dan lore.
folk adalah sekelompok orang yang memilki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan
kebudayaan (Alam Dundes). ciri-ciri pengenalnya dapat berwujud: warna kulit
yang sama, bentuk rambut, mata penceharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama
yang sama.
folk artinya sama dengan kata kolektif (collectivity). folk adalah
sinonim dengan kolektif, yang mempunyai ciri-ciri pengenal fisik atau
kebudayaan yang sama, dan mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan
masyarakat. (Dundes, 1965:2; 1977:17-35; 1978:7).
Yang dimaksud dengan lore adalah tradisi folk, yaitu
sebagian kebudayaannya diwariskan secara turun temurun secara lisan atau
melalui suatu contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic
device).
Definisi folklor secara keseluruahan adalah sebagian kebudayaan
suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secra turun-temurun. di antara
kolektif, secara tradisional dalam vesrsi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan
maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat alat bantu pengingat (mnemonic
device).
Ciri utama definisi folklor yang digunakan adalah arti folk
lebih luas daripada yang digunakan sarjana Belanda sebelum Perang Dunia ke II.
Definisi folklor berasal dari definisi yang dibuat Jan Harold
Brunvand, yang telah diperluas. Definisi Brunvand adalah folkore may be
defined as those materials in cultuere that circulate traditionally among
members of any group in different versions, whether in oral or by means of
customary example (Brunvand, 1968:5).
Penelitain folklor Indonesia dapat diperluas lagi dengan meneliti
folklor dari folk Indonesia yang sudah lama bermukim di luar negeri,
contohnya seperti orang indo Belanda di
negeri Belanda atau California; dan orang Jawa di Suriname.
Ciri-ciri pengenal utama yang dapat membedakan folklor dari
kebudayaan lainnya dapat dirumuskan sebagai berikut.
a)
Penyebarannya
dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yang disebarkan melalui tutur
kata dari mulut ke mulut, contohnya dengan menggunakan gerak isyarat, dan alat
bantu pengingat.
b)
Folklor
bersifat tradisional, yang disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam
bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup
lama (paling sedikit dua generasi).
c)
Folklor ada
(exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini
dikarenakan cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan) sehingga oleh proses
lupa diri manusia atau proses interpolasi (interpolation), folklor dapat
mengalami perubahan. Akan tetapi perbedaanya hanya terletak pada bagian luarnya
saja, sedangkan bentuk dasarnya akan tetap bertahan.
d)
Folklor
bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi.
e)
Folklor
biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Misalnya dalam
cerita rakyat, selalu menggunakan kata-kata klise, contohnya seperti “bulan
empat belas hari” yaitu menggambarkan
kecantikan seorang gadis.
f)
Folklor
mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif.
Dalam cerita rakyat mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipr lara,
protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.
g)
Folklor
bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai
dengan logika umum. Terutama berlaku bagi ciri pengenal folklor lisan dan
sebagian lisan.
h)
Folklor menjadi
milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini diakibatkan
karena pencipta yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap
anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilkinya.
i)
Folklor pada
umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga kelihatnnya kasar,
terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat folklore merupakn
proyeksi emosi manusia yang paling jujur manifestasinya.
B.
Sejarah
Perkembangan Folklor
Folklor merupakan sebagian
kebudayaan, yang penyebarannya melalui tutur kata atau lisan, dan ada yang menyebutnya
sebagai tradisi lisan (oral tradition). Tradisi lisan mencakup cerita
rakyat, teka-teki, pribahasa, dan nyanyian rakyat. Sedangkan folklor mencakup
lebih, seperti tarian rakyat dan arsitektur rakyat.
Alasan tetap mempertahankan istilah folklor adalah:
1.
Karena istilah
folklor seperti istilah-istilah antropologi dan sosiologi, dan sudah menjadi
istilah internasional.
2.
Karena istilah
folklor mencakup dua kata, bagi ahli folklor modern merupakan dwitunggal yang
harus diperhatikan dalm penelitian.
Seorang ahli folklor modern meneliti folklor bukan terbatas pada
tradisinya (lore-nya), melainkan manusianya (folk-nya). Hal ini
akan jelas apabila kita telah mengetahui perkembangan sejarah folklor sebagai
suatu disiplin yang berdiri sendiri.
William Jhon Thoms seoarang ahli kebudayaan antik (antiquarian) inggris
adalah orang yang pertama kali memperkenalkan istilah folklor ke dalam dunia
ilmu pengetahuan. Istilah folklor diperkenalkan pada waktu beliau menerbitkan
sebuah artiklenya dalam bentuk surat terbuka dalam majalah The Athenaeum
No. 982, tanggal 22 Agustus 1846, dengan menggunakan nama Ambrose Merton
(1846:862-863),. Dalam surat terbuka
Thomas mengakui bahwa dialah yang telah menciptakan istilah folklore
untuk sopan santun inggris, takhyul, balada, dan sebagainya dari masa lampau,
yang sebelumnya disebut dengan istilah antiquities, popular antiquities,
atau popular literature (Dundes, 1965:4).
Pada umumnya waktu
diciptakannya istilah folklore dalam kosa kata bahasa inggris belum ada istilah
kebudayaan, sehingga ada kemungkinan bahwa istilah baru folklore dapat
digunakan orang untuk menyatakan kebudayaan. Hal itu tidak terjadi karena pada
tahun 1865 E.B. Tylor memperkenalkan istilah culture ke dalam bahasa
inggris. Pertama kali istilah itu di ajukan di dalam karangannya yang berjudul Researches
into the Early History of Mankind and Development of Civiization (1865).
Istilah culture ini kemudian di uraikan lebih lanjut dalam bukunya ynag
berjudul Primitive Culture (1871), artinya yaitu: kesatuan yang menyeluruh yang
terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat-istiadat,
dan semua kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia dengan anggota
masyarakat (Tylor, 1871, jilid 1:1).
Para ahli folklor humanistis yang terdiri dari para sarjana ahli
bahasa kesusastraan, kemudian memperdalam ilmu folklor, dan pada umumnya tetap
memegang definisi William Jhon Thoms; sehingga memasukan ke dalam folklor bukan
kesusastraan lisan, seperti cerita rakyat dan lain-lain sebagai obyek penelitian,
melainkan pola kelakuan manusia seperti tari dan bahasa isyarat, dan juga hasil
kelakuan yang berupa benda material, seperti arsitektur rakyat, mainan rakyat,
dan pakaian rakyat. Pada umumnya penelitian mereka mementingkan aspek lor
daripada folk dari folklor.
Sebaliknya dengan para ahli antropologis yang terdiri dari sarjana
antroplogis yang mengkhususkan diri dalam folklor, membatasi objek penelitian
mereka pada unsur-unsur kebudayaan yang bersifat lisan (verbal arts). Contohnya
seperti cerita prosa rakyat, syair rakyat, peribahasa, dan kesusastraan lisan.
Ahli folklor modern mempunyai latar belakang pendidikan
interdisipliner yang mempunyai pandangan terletak di tengah-tengah kedua kutub
yang berbeda. Dalam objek penelitian sama halnya dengan ahli folklor humanistis, yang mempelajari tentang semua
unsur kebudayaan manusia, akan tetapi harus diwariskan melalui lisan atau
dengan cara peniruan. Karena para ahli berpendidikan ilmu yang interdisipliner,
maka menitikberatkan penelitian kedua aspek folklor, baik folk mmaupun lornya.
Maka akibat dari belum adanya pendapat yang sama tentang istilah
lain untuk folklor kita tidak usah merasa heran, contohnya di Prancis istilah folklore
dipergunakan di samping istilah tradision
populair, di inggris dipergunakan folklore, sedangkan dinegara-negara Eropa
dipergunakan istiah volkskunde dan folk-liv (folk-live).
Meskipun istilah folklor sudah dikenal orang Eropa Barat, akan tetapi artinya
masih terbatas pada folklor lisan saja (Dundes, 1968: 3).