Sabtu, 10 November 2012

Ngagondang


Gondang atau di Ciamis disebut Gondang Buhun, adalah seni tetabuhan (tutunggulan) yang disertai dengan nyanyian. Alatnya adalah sebuah lisung (lesung, wadah untuk menumbuk padi) dan halu ,penumbuk padi terbuat dari sebatang kayu. Bunyi lesung dihasilkan dari tumbukan alu, yang bisa dilakukan ke berbagai bagian lesung, baik ke bagian dalam maupun bagian luar. Seluruh pemainnya perempuan, berjumlah kurang lebih lima orang. Kesenian ini tersebar di beberapa wilayah pedesaan di Ciamis Selatan. Salah satunya ada di Kampung Cikukang, Desa Ciulu, Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis. Mereka yang kini masih bisa ngagondang di antaranya Enah, Karlah, Anah, dan Niti. Kesenian ini terkait dengan beberapa ritus, antara lain ritus Nyi Pohaci Sanghyang Sri (mapag sri), ritus minta hujan, dan sebagai undangan kenduri.
Gondang yang dimainkan dalam rangka upacara mapag sri atau ngampihkeun (menyimpan padi ke lumbung) biasanya dilakukan selepas panen. Tempatnya dilaksanakan di sekitar leuit (lumbung padi). Upacara itu dimulai oleh seorang punduh (sesepuh upacara) perempuan, yang berdoa sambil membakar kemenyan, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan mengucapkan rasa syukurnya atas hasil panen yang didapat. Padi pun diarak, dimasukkan ke dalam lumbung sambil diiringi tutunggulan. Setelah itu, nyanyian gondang pun dilantunkan dengan penuh keceriaan.
Pada musim kemarau yang panjang, dan hujan tak kunjung turun, masyarakat melakukan upacara minta hujan yang disebut dengan iring-iring ucing. Dalam upacara ini, seekor kucing dan ayam jago diarak keliling kampung. Pelaksanaannya pada malam hari, dan tandanya dimulai dengan tutunggulan galuntang. Setelah itu, rombongan gondang bersiap untuk keliling kampung mengarak kedua binatang tersebut. Lesung digotong beramai-ramai, sementara alat musik Ronggeng Gunung ditabuh bersahut-sahutan. Setelah sampai di suatu tempat, kucing dan ayam jago dimandikan, kemudian dilepas. Gondang pun dimainkan. Lain halnya dengan gondang yang dimainkan untuk kepentingan kenduri. Suara lesungnya yang terdengar sampai jauh, berfungsi sebagai pemberitahuan atau sebagai tanda adanya seseorang yang akan mengadakan kenduri. Suara tutunggulan dan nyanyian-nyanyian itu adalah undangan kepada khalayak ramai untuk datang kepada orang yang punya kenduri. Tutunggulan biasanya dilakukan jauh hari sebelum kenduri seseorang itu dilaksanakan. Biasanya selama tiga hari sampai dengan seminggu. Akan tetapi, ritus-ritus tersebut kini mulai hilang dan gondang pun jarang dimainkan lagi.
Pola permainannya dibagi menjadi dua bagian, yakni tutunggulan dan nyanyian. Dalam Gondang Buhun terdapat empat jenis tutunggulan yang paling dominan, setiap jenisnya mempunyai irama yang khas. Keempat tutunggulan itu adalah:
  1. Galuntang, dimainkan oleh 4 atau banyak orang, yang berfungsi sebagai pembuka dan penutup pertunjukan.
  2. Pingping Hideung, dimainkan oleh 4 orang
  3. Ciganjengan, dimainkan oleh 5 orang
  4. Angin-anginan, dimainkan oleh 7 orang
Setiap pemain gondang mempunyai motif irama dan tumbukannya sendiri. Motif tumbukan atau tabuhan yang berbeda-beda itu kemudian dipadukan sehingga membentuk sebuah komposisi irama. Motif tabuhan tersebut antara lain: turun-unggah atau midua, gejog, onjon, titir, kutek, ambruk, tilingting, dan dongdo.
referensi: disparbud.jabarprov.go.id, ilustrasi: wikipedia


Gondang adalah lagu pada tutunggulan. Ngagondang adalah kakawihan yang dipirig oleh tutunggulan. Pada mulanya gondang merupakan bagian dari upacara untuk menghormati Dewi Padi, Nyi Pohaci Sanghyang Sri, waktu menumbuk padi untuk pertama kalinya, biasa disebut meuseul Nyai Sri, setelah panen usai. Yang melakukan gondang yaitu wanita yang dianggap suci atau sudah tidak menstruasi (menopause). Itu dulu waktu di Jaman Prabu Siliwangi. Perkembangan selanjutnya gondang menjadi nama salah satu seni pertunjukan yang menggambarkan muda-mudi di pedesaan menjalin cinta kasih, dengan gerak dan lagu yang romantis penuh canda. Sekelompok pemudi menumbuk padi dengan mempergunakan lesung, kemudian sekelompok pemuda datang. Terjadilah dialog yang akhirnya mereka pulang berpasang-pasangan.
Lagu-lagu yang dipergunakan banyak mengambil dari lagu rakyat, atau lagu perkembangan yang diubah katanya. Salah seorang inovator seni pertunjukan ini adalah Tatang Kosasih, yang mengolahnya pada awal tahun 1960-an. Kata-katanya tidak saja berbahasa Sunda, tetapi dicampur dengan bahasa Indonesia, dan untuk membedakan dengan kreasi gondang lainnya, gondang karya Tatang Kosasih biasa disebut gondang tidak jangan. Mang Koko dan Wahyu Wibisana pernah membuat Gondang Samagaha (gerhana), yang mengisahkan kegiatan muda-mudi dikala terjadi gerhana, diiringi gamelan pelog dan salendro.
Salah satu ciri gondang adalah adanya kegiatan tutunggulan dengan alat alu atau lesung. Tingtung tutunggulan gondang artinya bunyi-bunyian yang terdengar dari pukulan alu dan lesung yang dimainkan oleh beberapa orang, sehingga membentuk paduan bunyi yang polyphonis. Tutunggulan biasa pula dijadikan tangara (tanda) untuk masyarakat sekitarnya bahwa ada seseorang yang akan melangsungkan perhelatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar